Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
BJ Habibie adalah seorang insinyur
konstruksi pesawat terbang dan doktor teknologi tinggi. Pikiran tenaga dan
waktunya, seharusnya bisa tercurah penuh di bidang teknologi. Akan tetapi pada
perjalanannya BJ Habibie harus membaginya pada bidang yang benar-benar baru
baginya, yaitu dunia politik. BJ Habibie yang brilian dibidang teknologi,
”diseret” untuk belajar politik mulai dari Nol, seperti layaknya anak TK yang
baru masuk sekolah. Ini terjadi ketika BJ Habibie diangkat menjadi wakil
presiden pada tahun 1997 dan menggantikan Presiden Soeharto karena mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998.
Kepemimpinan BJ Habibie ketika
menjabat menjadi presiden berada pada masa transisi, masa reformasi. Dimana
masyarakat meminta begitu banyak kebebasan.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas softskill;
2.
Menjelaskan tentang kepemimpinan, topologi
kepemimpinan, dan teori kepemimpinan;
3.
Menjelaskan tentang gaya kepemimpinan dari
Bapak BJ Habibie;
Bab II
Pembahasan
A.
Pengertian Kepemimpinan
Menurut arti secara harfiah, pimpin berarti
bimbing. Memimpin berarti membimbing atau menuntun. Pemimpin merupakan orang
yang memimpin ataupun seorang yang menggunakan wewenang serta mengarahkan
bawahannya guna mengerjakan pekerjaan mereka untuk mencapai tujuan tertentu
dari organisasi.
Kepemimpinan atau leadership
merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip dan
rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang
masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Definisi yang pertama dikemukakan oleh Tead;
Terry; Hoyt di dalam Kartono, 2003. Definisi leadership menurutnya adalah
sebuah kegiatan ataupun sebuah seni untuk mempengaruhi orang lain agar mau
bekerja sama yang didasarkan kepada kemampuan yang dimiliki oleh orang itu guna
membimbing orang lain di dalam usaha mencapai berbagai tujuan yang ingin
dicapai oleh kelompok.
Pengertian kepemimpinan yang kedua dikemukakan
oleh Young. Menurut sudut pandangnya, kepemimpinan itu merupakan sebuah bentuk
dominasi yang didasari oleh kemampuan pribadi yang mampu untuk mengajak ataupun
mendorong orang lain untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan kepada penerimaan
oleh organisasinya, dan mempunyai keahlian yang khusus yang sesuai dengan
situasi yang khusus pula.
Dari berbagai definisi yang sudah dikemukakan
di atas bisa disimpulkan bahwa leadership atau kepemimpinan itu adalah sebuah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, kelompok dan bawahan, kemampuan untuk
mengarahkan tingkah laku orang lain, mempunyai kemampuan ataupun keahlian
khusus di dalam bidang yang diharapkan oleh kelompoknya, guna mencapai tujuan
dari kelompoknya.
Menyadari akan pentingnya peran kepemimpinan
dari beberapa definisi kepemimpinan di atas di dalam sebuah usaha untuk
mencapai tujuan sebuah organisasi sehingga bisa dikatakan bahwa keberhasilan
ataupun kegagalan yang dialami oleh sebagian besar organisasi ditentukan oleh
bagaimana kualitas kepemimpinan yang dipunyai oleh pihak yang memimpin
organisasi tersebut. Berhasil atau tidaknya sebuah organisasi dalam mencapai
tujuan yang sudah ditetapkan, tergantung kepada berbagai cara yang dilakukan
oleh pemimpin untuk memimpin organisasi itu.
B.
Teori Kepemimpinan
Untuk
mengetahui dan memahami teori–teori kepemimpinan, dapat dilihat dari beberapa
literatur yang pada umumnya membahas yang sama. Dari literatur itu diketahui
ada teori yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada juga
yang menyatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok orang–orang,
dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin.
Dan teori
yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat prilaku organisasi. Orientasi
prilaku ini mencoba mengetengahkan pendekatan yang bersifat ”social learning”
pada kepemimpinan. Teori ini menekankan bahwa terdapat faktor penentu yang
timbal balik dalam kepemimpinan ini.
Faktor
penentu ini ialah pemimpin sendiri (termasuk didalamnya kognisinya). Situasi
lingkungan (termasuk pengikut–pengikutnya dan variabel–variabel makro) dan
prilakunya sendiri. Tiga faktor penentu ini merupakan dasar dari teori
kepemimpinan yang diajukan oleh ilmu prilaku organisasi. Berikut ini akan
diuraikan beberapa teori yang tidak asing bagi literatur–literatur kepemimpinan
pada umumnya antara lain:
1.
Teori Sifat (Trait Theory)
Teori sifat
barangkali dapat memberikan arti lebih realistik terhadap pendekatan sifat dari
pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran prilaku pemikir psikologi,
yaitu suatu kenyataan yang dapat diterima bahwa sifat–sifat kepimpinan itu
tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi juga dapat dicapai lewat suatu pendidikan
dan pengalaman.
Dengan demikian maka perhatian terhadap kepemimpinan
dialihkan kepada sifat–sifat umum yang dipunyai oleh pemimpin, tidak lagi
menekankan apakah pemimpin itu dilahirkan atau dibuat. Keith Devis merumuskan
empat sifat umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan organisasi antara lain:
a.
Kecerdasan.
Hasil penelitian
pada umunya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian pemimpin tidak bisa
melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.
b.
Kedewasaan dan keluasaan hubungan sosial
Pemimpin
cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai
perhatian yang luas terhadap aktivitas sosial.
c.
Motivasi diri dan dorongan berprestasi
Para pemimpin
secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi.
d.
Sikap–sikap hubungan kemanusiaan
Pemimpin–pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan
kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.
2.
Teori Kelompok
Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa
mencapai tujuan–tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif
diantara pemimpin dan pengikut–pengikutnya. Kepemimpinan yang ditekankan pada
adanya suatu proses pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya ini, melibatkan
juga konsep–konsep sosiologi tentang keinginan–keinginan mengembangkan peranan.
Para pemimpin yang memperhitungkan pengaruh yang positif terhadap sikap,
kepuasan dan pelaksanaan kerja.
3.
Model Kepemimpinan Kontijensi dari Fiedler
Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan
dengan situasi yang menyenangkan itu diterangkan oleh Fielder dalam hubungannya
dengan dimensi–dimensi empiris sebagai berikut:
a. Hubungan pemimpin–anggota. Hal ini merupakan
variabel yang paling penting didalam menentukan situasi yang menyenangkan
tersebut.
b. Derajat dan struktur tugas. Dimensi ini
merupakan masukan yang sangat penting, dalam menentukan situasi yang
menyenangkan.
c. Politisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas
formal. Dimensi ini merupakan dimensi yang sangat penting ketika di dalam
situasi yang sangat menyenangkan.54. Teori Jalan Kecil–Tujuan (Path–Goal
Theory)
Secara umum berusaha untuk menjelaskan pengaruh prilaku
pemimpin terhadap motivasi, kepuasaan dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya.
Adapun teori jalan kecil – tujuan, memasukkan empat tipe atau gaya utama
kepemimpinan sebagai berikut:
a. Kepemimpinan direktif. Tipe ini sama dengan model
kepemimpinan yang otokratis. Bawahan tahu senantiasa apa yang diharapkan
dirinya dengan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini
tidak ada partisipasi dari bawahan.
b. Kepemimpinan yang mendukung. Tipe kepemimpinan
model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah
didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawahan.
c. Kepemimpinan yang partisipatif. Gaya kepemimpinan
ini berusaha meminta dan mempergunakan sarana–sarana dari bawahannya untuk berprestasi.
C.
Tipe Kepemimpinan
Sebagai
titik tolak dalam pembahasan tipologi kepemimpinan yang secara luas dikenal
bahwa dewasa ini, kiranya relevan untuk menekankan bahwa gaya
kepemimpinan yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk
mengetahui situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya
kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya.
Meskipun
belum terdapat kesepakatan bulat tentang tipologi kepemimpinan yang secara luas
dikenal dewasa ini, lima tipe kepemimpinan yang diakui keberadaannya ialah:
1. Tipologi yang Otokratik
Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang
otokratik adalah seseorang yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan
mendorongnya memutar-balikkan kenyataan yang sebenar-benarnya sehingga sesuai
dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan.
Dengan egoisme yang
sangat besar demikian, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya
sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan
yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan
total para anggota organisasi megenai nasib masing-masing dan lain sebagainya.
Berangkat dari persepsi yang demikian, seorang pemimpin yang
otokratik cenderung menganut nilai organisasi yang berkisar pada pembenaran
segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya.
Sesuatu tindakan akan dinilainya benar apabila tindakan itu
mempermudah tercapainya tujuan dan semua tindakan yang menjadi penghalang akan
dipandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik dan dengan demikian akan
disingkirkannya, apabila perlu dengan tindakan kekerasan.
Berdasarkan nilai-nilai demikian, seorang pemimpin otoriter
akan menunjukkan berbagai sikap yang menonjolkan keakuannya antara lain dalam bentuk:
a. Kecenderungan melakukan para bawahan sama dengan alat-alat
dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat
dan martabat mereka.
b. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan
penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas dengan kepentingan dan
kebutuhan para bawahan.
c. Pengabaian peranan bawahan dalam proses
pengambilan keputusan, dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut
bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan tertentu itu
diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakannya saja.
Sikap pemimpin demikian akan menampakkan juga pada prilaku
pemimpin yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan pihak lain, terutama
dengan para bawahannya dalam organisasi. Yang menjadi masalah dalam hal
kepemimpinan otokratik ialah keberhasilan mencapai tujuan dan berbagai
sasaran-sasaran itu semata-mata karena takutnya bawahan terhadap pemimpinnya dan
bukan berdasarkan keyakinan bahwa tujuan yang telah ditentukan itu wajar dan
layak untuk dicapai dan disiplin kerja yang terwujud pun hanya karena bawahan
selalu dibayang–bayangi ancaman seperti pengenaan tindakan disiplin yang keras,
penurunan pangkat, dan bahkan tanpa kesempatan membela diri.
2. Tipologi yang Paternalistik
Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat
dilingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat
pedesaan. Persepsi seorang pemimpin yang paternalistik tentang
peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan
para pengikutnya kepadanya. Harapan itu pada umumnya berwujud keinginan agar
pemimpin mereka mampu berperan sebagai bapak yang bersifat melindungi dan yang
layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan untuk memperoleh petunjuk. Para
bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin yang paternalistik mempunyai
sifat-sifat tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan memberikan perhatian
terhadap kepentingan kesejahteraan bawahannya.
Akan tetapi sebaliknya, pemimpin yang paternalistik mengharapkan
bahwa kehadiran atau keberadaannya dalam organisasi tidak lagi dipertanyakan
oleh orang lain.
Dengan perkataan lain, legitimasi kepemimpinannya dipandang
sebagai hal yang wajar dan normal, dengan implikasi organisasionalnya seperti
kewenangan memerintah dan mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan
para bawahannya. Ditinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut,
biasanya seorang pemimpin yang paternalistik kepentingan bersama dan
perlakuan yang seragam terlihat menonjol juga. Artinya pemimpin yang
bersangkutan berusaha untuk memperlakukan semua orang dan semua satuan kerja
yang terdapat didalam organisasi seadil dan serata mungkin. Dalam organisasi
demikian tidak terdapat penonjolan orang atau kelompok tertentu, kecuali sang
pemimpin dengan dominasi keberadaanya.
3. Tipe yang
Kharismatik
Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang
dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu
dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tertentu tidak dikagumi.
Sesungguhnya sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang
pemimpin yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap
dan prilaku dan gaya yang digunakan pemimpin yang diikutinya itu.
Penampilan fisik ternyata bukan ukuran yang berlaku umum
karena ada pemimpin yang dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik yang kalau
dilihat dari penampilan fisiknya saja sebenarnya tidak atau kurang mempunyai
daya tarik. Usia pun tidak selalu dapat dijasikan ukuran. Sejarah telah
membuktikan bahwa seorang yang berusia relatif muda pun mendapat julukan
sebagai pemimpin yang kharismatik. Jumlah harta yang dimiliki pun nampaknya
tidak bisa digunakan sebagai ukuran.
Hanya saja jumlah pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin
yang kharismatik tidak besar dan mungkin jumlah yang sedikit ini juga yang
menyebabkan, sehingga tidak cukup data empirik yang dapat digunakan
untuk menganalisis secara ilmiah karakteristik pemimpin yang sedemikian dengan
rinci.
4. Tipe yang Laissez
Faire
Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez
faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada
pandangannya bahwa pada umumnya organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah
dewasa yang mengetahui apa-apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran
apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing
anggota dan seorang pemimpin tidak terlalu sering melakukan intervensi dalam
kehidupan organisasional.
Dengan sikap yang persuasif, prilaku seorang pemimpin
yang laissez faire cenderung mengarah kepada tindak-tanduk yang
memperlakukan bawahan sebagai rekan kerja, hanya saja kehadirannya sebagai
pemimpin diperlukan sebagai akibat dari adanya struktur hirarki organisasi.
Dengan telah mencoba mengidentifikasi karakteristik utama seorang pemimpin yang
laissez faire ditinjau dari kriteria persepsi, nilai dan prilaku diatas,
mudah menduga bahwa gaya kepemimpinan yang digunakannya adalah sedemikian rupa
sehingga
a. Pendelegasian
wewenang terjadi secara ekstensif.
b. Pengambilan keputusan diserahkan kepada para
pejabat pemimpin yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ternyata menuntut keterlibatannya secara langsung.
c. Status quo organisasional
tidak terganggu.
d. Pertumbuhan dan pengembangan kemampuan
berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan
kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
e. Sepanjang dan
selama para anggota organisasi menunjukkan prilaku dan prestasi kerja yang memadai
intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang
minimum.
5. Tipe yang
Demokratik
Tipe
pemimpin yang paling ideal dan paling didambakan adalah pemimpin yang
demokratik. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator
dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga
bergerak sebagai suatu totalitas. Seorang pemimpin yang demokratik menyadari
benar bahwa akan timbul kecenderungan dikalangan para pejabat pemimpin yang
paling rendah dan dikalangan para anggota organisasi untuk melihat peranan
suatu kerja dimana mereka berada sebagai peranan yang paling penting, paling
strategis dan paling menentukan keberhasilan organisasi mencapai berbagai
sasaran organisasional, prilaku mendorong para bawahan menumbuhkan dan
mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya.
Dengan
sungguh-sungguh ia mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik dari orang
lain, terutama bawahannya. Bahkan seorang pemimpin yang demokratik tidak akan
takut membiarkan para bawahannya berkarya meskipun ada kemungkinan prakarsa itu
akan berakibat kesalahan. Jika terjadi kesalahan, pemimpin yang demokratik
berada disamping bawahan yang berbuat kesalahan itu, bukan untuk menindak atau
menghukumnya, melainkan meluruskannya sedemikian rupa sehingga bawahan tersebut
belajar dari kesalahannya itu dan dengan demikian menjadi anggota organisasi
yang lebih bertanggung jawab. Karakteristik penting seorang pemimpin yang
demokratik yang sangat positif ialah dengan cepat menunjukkan
penghargaannya kepada para bawahan yang berprestasi tinggi.
D.
Gaya Kepemimpinan Bapak BJ Habibie
Tidak dipermasalahkan lagi bahwa BJ Habibie memang seorang
idealis yang dengan keras kepala tidak mau beranjak dari citranya mengenal
Indonesia modern dan cara mencapainya. Ia seorang romantikus yang dengan penuh
gairah menyambut semua taji tangan dalam hidupnya. Ia tahu bagaimana rasanya bersendiri
dalam menuju perjalanan yang benar. Nasionalismenya terwujud dalam sajak,
karangan dan perbuatannya.
Habibie adalah ilmuwan yang cemerlang yang selalu bertanya
kalau tidak tahu, selalu ingin mendalami segala sesuatu sampai ke akar-akarnya,
dan selalu bingung menghadapi omong kosong. Ia seorang pemimpin yang mampu
membakar semangat ribuan orang muda di dalam dan diluar badan organisasi yang
dipimpinnya.
Bahwa BJ Habibie juga sorang pekerja keras, orang polos yang
tidak tahan pada keruwetan yang dibuat-buat, suka menolong orang lain, tahu
membayar hutang budi, taat pada agama, suami dan ayah penuh kasih sayang, dan
nasionalis dalam arti cinta tanah air.
BJ Habibie seorang yang perfeksionis yang heran melihat orang
yang tidak berusaha mencapai yang sesempurna mungkin dan dengan tabiat yang
details selalu memperhatikan sampai yang kecil-kecil. Ia juga seorang manajer
yang baik, yang tahu menentukan sasaran strategis maupun menentukan untung rugi
tindakan-tindakan operasional yang mendetail.
Gaya kepemimpinan seseorang terlihat dari
kelanggengan-kelanggengan dalam sikap dan perbuatannya, apa yang membuatnya
senang, apa yang menyebabkannya menarik nafas panjang tidak sabar, dan
keteraturan-keteraturan lain seperti itu. Seseorang yang selalu berusaha
memberi motivasi pada anak buahnya, yang jika perlu tampil kedepan menunjukkan
jalan, dan yang pada saat-saat tepat memberikan peluang pada prakarsa anak buah
dan hanya mengikuti saja perkembangan keadaan.
Gaya kepemimpinan seseorang juga dibentuk oleh watak dan
lingkungan kita patut heran kalau BJ
Habibie sepenuhnya mengikuti gaya kepemimpinan raja-raja melayu dalam
melaksanakan pekerjaan, lebih masuk akal ia lebih menghayati dan menerapkan
prinsip-prinsip yang berlaku di dalam industri modern.
Di dalam organisasi pekerjaan, kepemimpinan menyangkut sikap
dan perbuatan, sikap dan perbuatan di dalam bekerja dan terhadap manusia. Untuk
mudahnya sikap dan perbuatan terhadap manusia dapat dibagi lagi ke dalam dua
bagian, yaitu pertama sikap terhadap semua orang, dan kedua, sikap terhadap
bawahan. Dalam melaksanakan pekerjaan, BJ Habibie berpegang pada prinsip,
“Bersikaplah rasional bertindaklah konsisten, berlakulah adil.”
Mengetahui BJ Habibie details dan perfeksionis, kita tidak
heran bahwa di dalam bekerja ia menganut prinsip bahwa, “ Mutu keseluruhannya
ditentukan oleh mutu setiap detail, “ dan bahwa karena itu ia menghendaki
ditekuninya segala sesuatu sampai ke detail-detailnya yang paling kecil dan
dilakukannya upaya mencapai kesempurnaan yang setinggi mungkin. Kesempurnaan
tidak datang dengan sendirinya. Kesempurnaan harus diupayakan.
Kesempurnaan harus dinilai. Proses dan hasil pekerjaan harus
selalu diawasi. Maka lahirlah prinsip; “ Percaya itu baik tetapi mengecek lebih
baik lagi.” Mengecek itu tidak ada hubungannya dengan sikap terhadap
perorangan. Mengecek menyangkut tanggung jawab atas pekerjaan dan perbuatan
semua anggota sistem kerja terhadap hasil kerja keseluruhan sistem. Maka saling
mengecek merupakan hal yang wajar.
Bagi BJ Habibie, mengecek dan meminta pertanggung jawaban
juga tidak ada hubungannya dengan status. BJ Habibie sendiri tidak berkeberatan
dicek leh bawahan kalau maksudnya murni mengamankan keseluruhan sistem Disiplin
ilmu, teknologi dan industri modern masih baru bagi kita dan masih perlu lebih
dihayati dan diamalkan.
Karena itu BJ Habibie sangat mementingkan pengawasan,
termasuk pengawasan atasan langsung terhadap bawahannya. Tidak mengheranan
bahwa ia menerapkan tingkat konsentrasi atau pemusatan pengambilan keputusan
yang relative tinggi, terutama menyangkut pengendalian dan pengawasan mutu.
Menurut BJ Habibie, ketrampilan harus dicapai dengan dua
cara; Pertama, para kader perlu melaksanakan prinsip bahwa: “ belajar dan
menguasai teori itu sangat perlu, namun itu tidak cukup. Yang perlu dan cukup
adalah menerapkan pengetahuan pada masalah-masalah konkret.” Kedua, ketrampilan
hanya dapat diperoleh dengan melakukan spesialisasi: dengan semakin mendalami
sesuatu, dengan semakin mendalam dengan mengkhususkan diri, tidak dengan
melebar menangani banyak topik yang berbeda-beda.
Hanya dengan spesialisme akan dapat ditumbuhkan kekuatan
bersaing berdasarkan kemampuan. Semakin meningkat penguasaan teori para kader
semakin tinggi ketrampilannya, dan semakin terandalkan unjuk-kerjanya, pasti
mereka akan lebih terpercaya. Dan meningkatnya keterpercayaan itu akan
mengembangkan tingkat dekonsentrasi yang lebih besar dan pola-pola pengawasan
baru tanpa melepaskan prinsip pengawasan terus-menerus.
Namun tingginya konsentrasi pengambilan keputusan dan
ketatnya pengawasan BJ Habibie memiliki sifat yang khas. BJ Habibie adalah
ilmuwan yang sejati. Ia sendiri yang akan pertama-tama mengakui kalau ia tidak
mengetahui atau menguasai sesuatu. Ia sendiri yang akan pertama-tama mengakui
keunggulan orang lain jika memang obyektif demikian.
Kesemuanya ini konsisten dengan apa yang dikatakan: otonom
yang diberikan akan sebanding dengan kemampuan nyata. Itu yang namanya adil.
Bagi seorang profesional seperti Habibie, keterpercayaan adalah modal utama.
Orang yang mencari penghasilan dengan ktrampilam teknis tertentu, hanya nama
baiknya yang dapat dijadikannya landasan untuk berkembang, dengan mantap dan
mandiri; bukan umur, bukan uang, bukan nama orang tua, bukan dukungan kekuatan
politik, bukan kepandaian berbicara, bukan gelar kesarjanaan.
Memang ada kalanya orang dapat memasuki suatu profesi dengan
dukungan politik, atau uang, atau orang tua dan sebagainya. Namun kesemuanya
itu tidak menjamin ia akan dapat bertahan apa lagi maju secara mandiri. Kecuali
jika terpaksa, orang memberikan pekerjaan kepada seseorang professional hanya
sepanjang orang percaya dan kemampuannya melaksanakan apa yang disepakati atau
dikatakan sebelumnya.
Setiap orang berpikiran waras akan merasa dirinya lebih aman
ditangani oleh orang atau badan yang memang terbukti atau mendapat reputasi ini
sebagai ahli. Ini berlaku untuk semua professional pekerja gaji di pemerintah
atau bisnis. Nama baik bukan kita sendiri yang memberikan. Nama baik diberikan
oleh rekan-rekan sekerja, oleh rekan-rekan seprofesi nasional dan
internasional.
Disamping itu, setiap professional harus menunjukkan sikap
dan nilai-nilai sebagai seorang ilmuwan umumnya kebenaran, kejujuran,
ketelitian, ketekunan, kepolosan, kesederhanaan, keterbukaan, tidak cepat
percaya, percaya pada diri sendiri, tidak memihak, tidak fanatik dan lain
sebagainya, dan sikap nilai-nilai profesi dalam bidang keahlian masing-masing. BJ
Habibie, landasan pokok bagi hubungan kerjasama adalah saling percaya.
Sering ia katakan pada mitranya, ” kalau kita saling percaya
maka perjanjian tertulis dua halaman saja cukup. Sebaliknya, kalu kita berdua
tidak saling percaya, perjanjian tertulis setebal buku pun tidak akan
menolong.” Dasar kepercayaan adalah kesatuan sikap dan nilai serta keserasian
kepentingan.
Kesatuan sikap dan nilai akan melahirkan kesatuan berpikir.
Sikap dan nilai yang sama akan melahirkan peranggapan dan batasan-batasan yang
sama. Kesatuan nilai dan keserasian dan keserasian kepentingan melahirkan
tujuan akhir yang serupa, atau sekurang-kurangnya searah. Saling percaya
membuat hidup tidak saja akan terasa jauh lebih aman, hidup akan terasa jauh
lebih muda. Tidak perlu pasang kuda-kuda.
Tidak perlu semuanya hitam diatas putih. Hak dan kewajiban
kedua belah pihak tidak perlu dirinci panjang lebar. Kesemuanya sudah dipahami
dengan sendirinya tanpa perlu disebut. Di pegang teguhnya kedua prinsip ini
oleh BJ Habibie tidak kebetulan, itulah yang ia hayati, inilah cara sendiri
maju di dunia internasional.
Gaya kepemimpinan BJ Habibie mengandung unsur-unsur
kepemimpinan bisnis modern: di situlah ia dibesarkan. Namun jelas terlihat juga
unsur-unsur kepemimpinan terkenal Indonesia. Tidak salah lagi, dengan segala
kekuasaannya dalam dunia bisnis internasional modern, ia tetap putera bangsa
dan negaranya. Perpaduan antara ke-Islamannya, nasionalismenya, kejawaannya,
kesulawesiannya, ilmu dan teknologi serta internasionalnya, dan lugasan
bisnisnya, menjadikan BJ Habibie sebagai bagian dari Indonesia modern.
Banyak
gagasan dan keputusan yang sangat fundamental lahir atas inisiatif BJ Habibie.
Sadar atau tidak, apa yang ditinggalkan BJ Habibie dalam masa singkat
pemerintahannya, telah membuka jalan bergulirnya reformasi dan pengaruh dalam
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan uraian diatas
tipologi kepemimpinan BJ Habibie identik dengan tipologi kepemimpinan yang
demokratis. Dalam tipologi kepemimpinan yang demokratik biasanya memandang
peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen
organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Gaya Kepemimpinan
Demokrasi
-
Kelebihan
1.
Memberikan kebebasan yg besar
kpd kelompok untuk mengadakan kontrol terhadap supervisor.
2.
Merasa lebih bertanggung
jawab dalam menjalankan pekerjaan.
3.
Produktivitas lebih tinggi
4.
Pemimpin dan bawahan dapat
saling mengenal dan dapat saling mengisi.
5.
Keputusan serta tindakan yang
lebih obyektif, tumbuhnya ras ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi.
-
Kekurangan
1.
Banyak membutuhkan komunikasi
dan koordinasi.
2.
Membutuhkan waktu yang
relatif lama dalam mengambil keputusan.
3.
Memberikan persyaratan
tingkat “skil” (kepandaian) yang relatif tinggi bagi pemimpin.
4.
Dibutuhkan adanya toleransi
yg besar kepada kedua belah pihak karena jika tidak dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Bab III
Penutup
Dalam kepemimpinannya menjadi Presiden Republik Indonesia
ke-3, BJ Habibie mempunyai tiga landasan prilaku:
a) sandaran kekuatan rohani. Salah satu hal yang menonjol
dari BJ Habibie adalah sifat keberagamaannya yang kental. BJ Habibie meyakini
apa pun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, walaupun kadang-kadang bertentangan
dengan kehendak manusia.
b) kekuasaan adalah amanah. Salah satu yang mendasari prilaku
kepemimpinan BJ Habibie adalah pemahamannya tentang ”kekuasaan”. Menurut BJ
Habibie kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana perjuangan atau pengabdian
kepada bangsa dan negara. Kekuasaan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan
baik, demi kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya.
c) inner dialog. Terbawa dari kebiasaanya sebagai seorang
insinyur, yang harus memperhitungkan dengan terperinci segala sesuatunya. BJ
Habibie melontarkan pertanyaan kepada dirinya sendiri mengenai hal-hal mendasar
yang terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
Kemudian dengan menggunakan referensi informasi serta logika
nilai yang dipunyainya, BJ Habibie menjawab sendiri berbagai persoalan tersebut
dalam menentukan langkah, kebijakan atau keputusan yang akan diambil. Dalam
mengambil kebijakan sebagai presiden, BJ Habibie selalu melakukan inner dialog
terlebih dahulu.
Bahan
Bacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar