Rabu, 23 Januari 2013

Gaya Kepemimpinan BJ Habibie


Bab I
Pendahuluan
A.      Latar Belakang
BJ Habibie adalah seorang insinyur konstruksi pesawat terbang dan doktor teknologi tinggi. Pikiran tenaga dan waktunya, seharusnya bisa tercurah penuh di bidang teknologi. Akan tetapi pada perjalanannya BJ Habibie harus membaginya pada bidang yang benar-benar baru baginya, yaitu dunia politik. BJ Habibie yang brilian dibidang teknologi, ”diseret” untuk belajar politik mulai dari Nol, seperti layaknya anak TK yang baru masuk sekolah. Ini terjadi ketika BJ Habibie diangkat menjadi wakil presiden pada tahun 1997 dan menggantikan Presiden Soeharto karena mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.


Kepemimpinan BJ Habibie ketika menjabat menjadi presiden berada pada masa transisi, masa reformasi. Dimana masyarakat meminta begitu banyak kebebasan.
B.      Tujuan Penulisan
1.       Untuk memenuhi tugas softskill;
2.       Menjelaskan tentang kepemimpinan, topologi kepemimpinan, dan teori kepemimpinan;
3.       Menjelaskan tentang gaya kepemimpinan dari Bapak BJ Habibie;

Bab II
Pembahasan

A.        Pengertian Kepemimpinan
Menurut arti secara harfiah, pimpin berarti bimbing. Memimpin berarti membimbing atau menuntun. Pemimpin merupakan orang yang memimpin ataupun seorang yang menggunakan wewenang serta mengarahkan bawahannya guna mengerjakan pekerjaan mereka untuk mencapai tujuan tertentu dari organisasi.
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Definisi yang pertama dikemukakan oleh Tead; Terry; Hoyt di dalam Kartono, 2003. Definisi leadership menurutnya adalah sebuah kegiatan ataupun sebuah seni untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama yang didasarkan kepada kemampuan yang dimiliki oleh orang itu guna membimbing orang lain di dalam usaha mencapai berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok.
Pengertian kepemimpinan yang kedua dikemukakan oleh Young. Menurut sudut pandangnya, kepemimpinan itu merupakan sebuah bentuk dominasi yang didasari oleh kemampuan pribadi yang mampu untuk mengajak ataupun mendorong orang lain untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan kepada penerimaan oleh organisasinya, dan mempunyai keahlian yang khusus yang sesuai dengan situasi yang khusus pula.
Dari berbagai definisi yang sudah dikemukakan di atas bisa disimpulkan bahwa leadership atau kepemimpinan itu adalah sebuah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, kelompok dan bawahan, kemampuan untuk mengarahkan tingkah laku orang lain, mempunyai kemampuan ataupun keahlian khusus di dalam bidang yang diharapkan oleh kelompoknya, guna mencapai tujuan dari kelompoknya.
Menyadari akan pentingnya peran kepemimpinan dari beberapa definisi kepemimpinan di atas di dalam sebuah usaha untuk mencapai tujuan sebuah organisasi sehingga bisa dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami oleh sebagian besar organisasi ditentukan oleh bagaimana kualitas kepemimpinan yang dipunyai oleh pihak yang memimpin organisasi tersebut. Berhasil atau tidaknya sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan, tergantung kepada berbagai cara yang dilakukan oleh pemimpin untuk memimpin organisasi itu.

B.      Teori Kepemimpinan
Untuk mengetahui dan memahami teori–teori kepemimpinan, dapat dilihat dari beberapa literatur yang pada umumnya membahas yang sama. Dari literatur itu diketahui ada teori yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada juga yang menyatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok orang–orang, dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin.
Dan teori yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat prilaku organisasi. Orientasi prilaku ini mencoba mengetengahkan pendekatan yang bersifat ”social learning” pada kepemimpinan. Teori ini menekankan bahwa terdapat faktor penentu yang timbal balik dalam kepemimpinan ini.
Faktor penentu ini ialah pemimpin sendiri (termasuk didalamnya kognisinya). Situasi lingkungan (termasuk pengikut–pengikutnya dan variabel–variabel makro) dan prilakunya sendiri. Tiga faktor penentu ini merupakan dasar dari teori kepemimpinan yang diajukan oleh ilmu prilaku organisasi. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang tidak asing bagi literatur–literatur kepemimpinan pada umumnya antara lain:
1.       Teori Sifat (Trait Theory)

Teori sifat barangkali dapat memberikan arti lebih realistik terhadap pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran prilaku pemikir psikologi, yaitu suatu kenyataan yang dapat diterima bahwa sifat–sifat kepimpinan itu tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi juga dapat dicapai lewat suatu pendidikan dan pengalaman.
Dengan demikian maka perhatian terhadap kepemimpinan dialihkan kepada sifat–sifat umum yang dipunyai oleh pemimpin, tidak lagi menekankan apakah pemimpin itu dilahirkan atau dibuat. Keith Devis merumuskan empat sifat umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi antara lain:
a.       Kecerdasan.
Hasil penelitian pada umunya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.
b.      Kedewasaan dan keluasaan hubungan sosial
Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas sosial.

c.       Motivasi diri dan dorongan berprestasi
Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi.
d.      Sikap–sikap hubungan kemanusiaan

Pemimpin–pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.

2.       Teori Kelompok

Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan–tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif diantara pemimpin dan pengikut–pengikutnya. Kepemimpinan yang ditekankan pada adanya suatu proses pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya ini, melibatkan juga konsep–konsep sosiologi tentang keinginan–keinginan mengembangkan peranan. Para pemimpin yang memperhitungkan pengaruh yang positif terhadap sikap, kepuasan dan pelaksanaan kerja.

3.       Model Kepemimpinan Kontijensi dari Fiedler

Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan itu diterangkan oleh Fielder dalam hubungannya dengan dimensi–dimensi empiris sebagai berikut:

a. Hubungan pemimpin–anggota. Hal ini merupakan variabel yang paling penting didalam menentukan situasi yang menyenangkan tersebut.
b. Derajat dan struktur tugas. Dimensi ini merupakan masukan yang sangat penting, dalam menentukan situasi yang menyenangkan.
c. Politisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan dimensi yang sangat penting ketika di dalam situasi yang sangat menyenangkan.54. Teori Jalan Kecil–Tujuan (Path–Goal Theory)

Secara umum berusaha untuk menjelaskan pengaruh prilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasaan dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya. Adapun teori jalan kecil – tujuan, memasukkan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan sebagai berikut:

a. Kepemimpinan direktif. Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis. Bawahan tahu senantiasa apa yang diharapkan dirinya dengan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan.

b. Kepemimpinan yang mendukung. Tipe kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawahan.
c. Kepemimpinan yang partisipatif. Gaya kepemimpinan ini berusaha meminta dan mempergunakan sarana–sarana dari bawahannya untuk berprestasi.

C.      Tipe Kepemimpinan
Sebagai titik tolak dalam pembahasan tipologi kepemimpinan yang secara luas dikenal bahwa dewasa ini, kiranya relevan untuk menekankan bahwa gaya kepemimpinan yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk mengetahui situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya.
Meskipun belum terdapat kesepakatan bulat tentang tipologi kepemimpinan yang secara luas dikenal dewasa ini, lima tipe kepemimpinan yang diakui keberadaannya ialah:
1. Tipologi yang Otokratik

Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutar-balikkan kenyataan yang sebenar-benarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan.
 Dengan egoisme yang sangat besar demikian, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi megenai nasib masing-masing dan lain sebagainya.
Berangkat dari persepsi yang demikian, seorang pemimpin yang otokratik cenderung menganut nilai organisasi yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya.
Sesuatu tindakan akan dinilainya benar apabila tindakan itu mempermudah tercapainya tujuan dan semua tindakan yang menjadi penghalang akan dipandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik dan dengan demikian akan disingkirkannya, apabila perlu dengan tindakan kekerasan.
Berdasarkan nilai-nilai demikian, seorang pemimpin otoriter akan menunjukkan berbagai sikap yang menonjolkan keakuannya antara lain dalam bentuk:
a. Kecenderungan melakukan para bawahan sama dengan alat-alat dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
b. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
c. Pengabaian peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan, dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan tertentu itu diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakannya saja.

Sikap pemimpin demikian akan menampakkan juga pada prilaku pemimpin yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan pihak lain, terutama dengan para bawahannya dalam organisasi. Yang menjadi masalah dalam hal kepemimpinan otokratik ialah keberhasilan mencapai tujuan dan berbagai sasaran-sasaran itu semata-mata karena takutnya bawahan terhadap pemimpinnya dan bukan berdasarkan keyakinan bahwa tujuan yang telah ditentukan itu wajar dan layak untuk dicapai dan disiplin kerja yang terwujud pun hanya karena bawahan selalu dibayang–bayangi ancaman seperti pengenaan tindakan disiplin yang keras, penurunan pangkat, dan bahkan tanpa kesempatan membela diri.

2. Tipologi yang Paternalistik

Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat dilingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat pedesaan. Persepsi seorang pemimpin yang paternalistik tentang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan para pengikutnya kepadanya. Harapan itu pada umumnya berwujud keinginan agar pemimpin mereka mampu berperan sebagai bapak yang bersifat melindungi dan yang layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan untuk memperoleh petunjuk. Para bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin yang paternalistik mempunyai sifat-sifat tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan memberikan perhatian terhadap kepentingan kesejahteraan bawahannya.
Akan tetapi sebaliknya, pemimpin yang paternalistik mengharapkan bahwa kehadiran atau keberadaannya dalam organisasi tidak lagi dipertanyakan oleh orang lain.
Dengan perkataan lain, legitimasi kepemimpinannya dipandang sebagai hal yang wajar dan normal, dengan implikasi organisasionalnya seperti kewenangan memerintah dan mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan para bawahannya. Ditinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya seorang pemimpin yang paternalistik kepentingan bersama dan perlakuan yang seragam terlihat menonjol juga. Artinya pemimpin yang bersangkutan berusaha untuk memperlakukan semua orang dan semua satuan kerja yang terdapat didalam organisasi seadil dan serata mungkin. Dalam organisasi demikian tidak terdapat penonjolan orang atau kelompok tertentu, kecuali sang pemimpin dengan dominasi keberadaanya.

3. Tipe yang Kharismatik

Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tertentu tidak dikagumi. Sesungguhnya sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang pemimpin yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan prilaku dan gaya yang digunakan pemimpin yang diikutinya itu.
Penampilan fisik ternyata bukan ukuran yang berlaku umum karena ada pemimpin yang dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik yang kalau dilihat dari penampilan fisiknya saja sebenarnya tidak atau kurang mempunyai daya tarik. Usia pun tidak selalu dapat dijasikan ukuran. Sejarah telah membuktikan bahwa seorang yang berusia relatif muda pun mendapat julukan sebagai pemimpin yang kharismatik. Jumlah harta yang dimiliki pun nampaknya tidak bisa digunakan sebagai ukuran.
Hanya saja jumlah pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang kharismatik tidak besar dan mungkin jumlah yang sedikit ini juga yang menyebabkan, sehingga tidak cukup data empirik yang dapat digunakan untuk menganalisis secara ilmiah karakteristik pemimpin yang sedemikian dengan rinci.

4. Tipe yang Laissez Faire

Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa-apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pemimpin tidak terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.
Dengan sikap yang persuasif, prilaku seorang pemimpin yang laissez faire cenderung mengarah kepada tindak-tanduk yang memperlakukan bawahan sebagai rekan kerja, hanya saja kehadirannya sebagai pemimpin diperlukan sebagai akibat dari adanya struktur hirarki organisasi. Dengan telah mencoba mengidentifikasi karakteristik utama seorang pemimpin yang laissez faire ditinjau dari kriteria persepsi, nilai dan prilaku diatas, mudah menduga bahwa gaya kepemimpinan yang digunakannya adalah sedemikian rupa sehingga

a. Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif.
b. Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pemimpin yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ternyata menuntut keterlibatannya secara langsung.
c. Status quo organisasional tidak terganggu.
d. Pertumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
e. Sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan prilaku dan prestasi kerja yang memadai intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.

5. Tipe yang Demokratik

Tipe pemimpin yang paling ideal dan paling didambakan adalah pemimpin yang demokratik. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas. Seorang pemimpin yang demokratik menyadari benar bahwa akan timbul kecenderungan dikalangan para pejabat pemimpin yang paling rendah dan dikalangan para anggota organisasi untuk melihat peranan suatu kerja dimana mereka berada sebagai peranan yang paling penting, paling strategis dan paling menentukan keberhasilan organisasi mencapai berbagai sasaran organisasional, prilaku mendorong para bawahan menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya.
Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik dari orang lain, terutama bawahannya. Bahkan seorang pemimpin yang demokratik tidak akan takut membiarkan para bawahannya berkarya meskipun ada kemungkinan prakarsa itu akan berakibat kesalahan. Jika terjadi kesalahan, pemimpin yang demokratik berada disamping bawahan yang berbuat kesalahan itu, bukan untuk menindak atau menghukumnya, melainkan meluruskannya sedemikian rupa sehingga bawahan tersebut belajar dari kesalahannya itu dan dengan demikian menjadi anggota organisasi yang lebih bertanggung jawab. Karakteristik penting seorang pemimpin yang demokratik yang sangat positif ialah dengan cepat menunjukkan penghargaannya kepada para bawahan yang berprestasi tinggi.
D.        Gaya Kepemimpinan Bapak BJ Habibie
Tidak dipermasalahkan lagi bahwa BJ Habibie memang seorang idealis yang dengan keras kepala tidak mau beranjak dari citranya mengenal Indonesia modern dan cara mencapainya. Ia seorang romantikus yang dengan penuh gairah menyambut semua taji tangan dalam hidupnya. Ia tahu bagaimana rasanya bersendiri dalam menuju perjalanan yang benar. Nasionalismenya terwujud dalam sajak, karangan dan perbuatannya.
Habibie adalah ilmuwan yang cemerlang yang selalu bertanya kalau tidak tahu, selalu ingin mendalami segala sesuatu sampai ke akar-akarnya, dan selalu bingung menghadapi omong kosong. Ia seorang pemimpin yang mampu membakar semangat ribuan orang muda di dalam dan diluar badan organisasi yang dipimpinnya.
Bahwa BJ Habibie juga sorang pekerja keras, orang polos yang tidak tahan pada keruwetan yang dibuat-buat, suka menolong orang lain, tahu membayar hutang budi, taat pada agama, suami dan ayah penuh kasih sayang, dan nasionalis dalam arti cinta tanah air.
BJ Habibie seorang yang perfeksionis yang heran melihat orang yang tidak berusaha mencapai yang sesempurna mungkin dan dengan tabiat yang details selalu memperhatikan sampai yang kecil-kecil. Ia juga seorang manajer yang baik, yang tahu menentukan sasaran strategis maupun menentukan untung rugi tindakan-tindakan operasional yang mendetail.
Gaya kepemimpinan seseorang terlihat dari kelanggengan-kelanggengan dalam sikap dan perbuatannya, apa yang membuatnya senang, apa yang menyebabkannya menarik nafas panjang tidak sabar, dan keteraturan-keteraturan lain seperti itu. Seseorang yang selalu berusaha memberi motivasi pada anak buahnya, yang jika perlu tampil kedepan menunjukkan jalan, dan yang pada saat-saat tepat memberikan peluang pada prakarsa anak buah dan hanya mengikuti saja perkembangan keadaan.
Gaya kepemimpinan seseorang juga dibentuk oleh watak dan lingkungan  kita patut heran kalau BJ Habibie sepenuhnya mengikuti gaya kepemimpinan raja-raja melayu dalam melaksanakan pekerjaan, lebih masuk akal ia lebih menghayati dan menerapkan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam industri modern.
Di dalam organisasi pekerjaan, kepemimpinan menyangkut sikap dan perbuatan, sikap dan perbuatan di dalam bekerja dan terhadap manusia. Untuk mudahnya sikap dan perbuatan terhadap manusia dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu pertama sikap terhadap semua orang, dan kedua, sikap terhadap bawahan. Dalam melaksanakan pekerjaan, BJ Habibie berpegang pada prinsip, “Bersikaplah rasional bertindaklah konsisten, berlakulah adil.”
Mengetahui BJ Habibie details dan perfeksionis, kita tidak heran bahwa di dalam bekerja ia menganut prinsip bahwa, “ Mutu keseluruhannya ditentukan oleh mutu setiap detail, “ dan bahwa karena itu ia menghendaki ditekuninya segala sesuatu sampai ke detail-detailnya yang paling kecil dan dilakukannya upaya mencapai kesempurnaan yang setinggi mungkin. Kesempurnaan tidak datang dengan sendirinya. Kesempurnaan harus diupayakan.
Kesempurnaan harus dinilai. Proses dan hasil pekerjaan harus selalu diawasi. Maka lahirlah prinsip; “ Percaya itu baik tetapi mengecek lebih baik lagi.” Mengecek itu tidak ada hubungannya dengan sikap terhadap perorangan. Mengecek menyangkut tanggung jawab atas pekerjaan dan perbuatan semua anggota sistem kerja terhadap hasil kerja keseluruhan sistem. Maka saling mengecek merupakan hal yang wajar.
Bagi BJ Habibie, mengecek dan meminta pertanggung jawaban juga tidak ada hubungannya dengan status. BJ Habibie sendiri tidak berkeberatan dicek leh bawahan kalau maksudnya murni mengamankan keseluruhan sistem Disiplin ilmu, teknologi dan industri modern masih baru bagi kita dan masih perlu lebih dihayati dan diamalkan.
Karena itu BJ Habibie sangat mementingkan pengawasan, termasuk pengawasan atasan langsung terhadap bawahannya. Tidak mengheranan bahwa ia menerapkan tingkat konsentrasi atau pemusatan pengambilan keputusan yang relative tinggi, terutama menyangkut pengendalian dan pengawasan mutu.
Menurut BJ Habibie, ketrampilan harus dicapai dengan dua cara; Pertama, para kader perlu melaksanakan prinsip bahwa: “ belajar dan menguasai teori itu sangat perlu, namun itu tidak cukup. Yang perlu dan cukup adalah menerapkan pengetahuan pada masalah-masalah konkret.” Kedua, ketrampilan hanya dapat diperoleh dengan melakukan spesialisasi: dengan semakin mendalami sesuatu, dengan semakin mendalam dengan mengkhususkan diri, tidak dengan melebar menangani banyak topik yang berbeda-beda.
Hanya dengan spesialisme akan dapat ditumbuhkan kekuatan bersaing berdasarkan kemampuan. Semakin meningkat penguasaan teori para kader semakin tinggi ketrampilannya, dan semakin terandalkan unjuk-kerjanya, pasti mereka akan lebih terpercaya. Dan meningkatnya keterpercayaan itu akan mengembangkan tingkat dekonsentrasi yang lebih besar dan pola-pola pengawasan baru tanpa melepaskan prinsip pengawasan terus-menerus.
Namun tingginya konsentrasi pengambilan keputusan dan ketatnya pengawasan BJ Habibie memiliki sifat yang khas. BJ Habibie adalah ilmuwan yang sejati. Ia sendiri yang akan pertama-tama mengakui kalau ia tidak mengetahui atau menguasai sesuatu. Ia sendiri yang akan pertama-tama mengakui keunggulan orang lain jika memang obyektif demikian.
Kesemuanya ini konsisten dengan apa yang dikatakan: otonom yang diberikan akan sebanding dengan kemampuan nyata. Itu yang namanya adil. Bagi seorang profesional seperti Habibie, keterpercayaan adalah modal utama. Orang yang mencari penghasilan dengan ktrampilam teknis tertentu, hanya nama baiknya yang dapat dijadikannya landasan untuk berkembang, dengan mantap dan mandiri; bukan umur, bukan uang, bukan nama orang tua, bukan dukungan kekuatan politik, bukan kepandaian berbicara, bukan gelar kesarjanaan.
Memang ada kalanya orang dapat memasuki suatu profesi dengan dukungan politik, atau uang, atau orang tua dan sebagainya. Namun kesemuanya itu tidak menjamin ia akan dapat bertahan apa lagi maju secara mandiri. Kecuali jika terpaksa, orang memberikan pekerjaan kepada seseorang professional hanya sepanjang orang percaya dan kemampuannya melaksanakan apa yang disepakati atau dikatakan sebelumnya.
Setiap orang berpikiran waras akan merasa dirinya lebih aman ditangani oleh orang atau badan yang memang terbukti atau mendapat reputasi ini sebagai ahli. Ini berlaku untuk semua professional pekerja gaji di pemerintah atau bisnis. Nama baik bukan kita sendiri yang memberikan. Nama baik diberikan oleh rekan-rekan sekerja, oleh rekan-rekan seprofesi nasional dan internasional.
Disamping itu, setiap professional harus menunjukkan sikap dan nilai-nilai sebagai seorang ilmuwan umumnya kebenaran, kejujuran, ketelitian, ketekunan, kepolosan, kesederhanaan, keterbukaan, tidak cepat percaya, percaya pada diri sendiri, tidak memihak, tidak fanatik dan lain sebagainya, dan sikap nilai-nilai profesi dalam bidang keahlian masing-masing. BJ Habibie, landasan pokok bagi hubungan kerjasama adalah saling percaya.
Sering ia katakan pada mitranya, ” kalau kita saling percaya maka perjanjian tertulis dua halaman saja cukup. Sebaliknya, kalu kita berdua tidak saling percaya, perjanjian tertulis setebal buku pun tidak akan menolong.” Dasar kepercayaan adalah kesatuan sikap dan nilai serta keserasian kepentingan.
Kesatuan sikap dan nilai akan melahirkan kesatuan berpikir. Sikap dan nilai yang sama akan melahirkan peranggapan dan batasan-batasan yang sama. Kesatuan nilai dan keserasian dan keserasian kepentingan melahirkan tujuan akhir yang serupa, atau sekurang-kurangnya searah. Saling percaya membuat hidup tidak saja akan terasa jauh lebih aman, hidup akan terasa jauh lebih muda. Tidak perlu pasang kuda-kuda.
Tidak perlu semuanya hitam diatas putih. Hak dan kewajiban kedua belah pihak tidak perlu dirinci panjang lebar. Kesemuanya sudah dipahami dengan sendirinya tanpa perlu disebut. Di pegang teguhnya kedua prinsip ini oleh BJ Habibie tidak kebetulan, itulah yang ia hayati, inilah cara sendiri maju di dunia internasional.
Gaya kepemimpinan BJ Habibie mengandung unsur-unsur kepemimpinan bisnis modern: di situlah ia dibesarkan. Namun jelas terlihat juga unsur-unsur kepemimpinan terkenal Indonesia. Tidak salah lagi, dengan segala kekuasaannya dalam dunia bisnis internasional modern, ia tetap putera bangsa dan negaranya. Perpaduan antara ke-Islamannya, nasionalismenya, kejawaannya, kesulawesiannya, ilmu dan teknologi serta internasionalnya, dan lugasan bisnisnya, menjadikan BJ Habibie sebagai bagian dari Indonesia modern.
Banyak gagasan dan keputusan yang sangat fundamental lahir atas inisiatif BJ Habibie. Sadar atau tidak, apa yang ditinggalkan BJ Habibie dalam masa singkat pemerintahannya, telah membuka jalan bergulirnya reformasi dan pengaruh dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan uraian diatas tipologi kepemimpinan BJ Habibie identik dengan tipologi kepemimpinan yang demokratis. Dalam tipologi kepemimpinan yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas.
E.       Kelebihan dan Kekurangan Gaya Kepemimpinan Demokrasi
-          Kelebihan
1.       Memberikan kebebasan yg besar kpd kelompok untuk mengadakan kontrol terhadap supervisor.
2.       Merasa lebih bertanggung jawab dalam menjalankan pekerjaan.
3.       Produktivitas lebih tinggi
4.       Pemimpin dan bawahan dapat saling mengenal dan dapat saling mengisi.
5.       Keputusan serta tindakan yang lebih obyektif, tumbuhnya ras ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi.

-          Kekurangan
1.       Banyak membutuhkan komunikasi dan koordinasi.
2.       Membutuhkan waktu yang relatif lama dalam mengambil keputusan.
3.       Memberikan persyaratan tingkat “skil” (kepandaian) yang relatif tinggi bagi pemimpin.
4.       Dibutuhkan adanya toleransi yg besar kepada kedua belah pihak karena jika tidak dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Bab III
Penutup


Dalam kepemimpinannya menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3, BJ Habibie mempunyai tiga landasan prilaku:
a) sandaran kekuatan rohani. Salah satu hal yang menonjol dari BJ Habibie adalah sifat keberagamaannya yang kental. BJ Habibie meyakini apa pun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, walaupun kadang-kadang bertentangan dengan kehendak manusia.
b) kekuasaan adalah amanah. Salah satu yang mendasari prilaku kepemimpinan BJ Habibie adalah pemahamannya tentang ”kekuasaan”. Menurut BJ Habibie kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana perjuangan atau pengabdian kepada bangsa dan negara. Kekuasaan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan baik, demi kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya.
c) inner dialog. Terbawa dari kebiasaanya sebagai seorang insinyur, yang harus memperhitungkan dengan terperinci segala sesuatunya. BJ Habibie melontarkan pertanyaan kepada dirinya sendiri mengenai hal-hal mendasar yang terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
Kemudian dengan menggunakan referensi informasi serta logika nilai yang dipunyainya, BJ Habibie menjawab sendiri berbagai persoalan tersebut dalam menentukan langkah, kebijakan atau keputusan yang akan diambil. Dalam mengambil kebijakan sebagai presiden, BJ Habibie selalu melakukan inner dialog terlebih dahulu.






Bahan Bacaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar