Rabu, 03 Juli 2013

Budaya Organisasi

BUDAYA ORGANISASI



  

Annisa A. Dwinuri
10111948





SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2012


Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya dari masa lalu. Hal ini mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi : para pendirinya. Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya.
Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara, pertama pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berprilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan dengan demikian menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi-organisasi lainnya. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, setiap aktifitasnya mencermintak sistem kebudayaan yang berintegrasi dengan dirinya, baik cara berpikir, memandang sebuah permasalahan, pengambilan keputusan, dan lain sebagainya.
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang budaya organisasi, diantaranya :
·         Robbins (1999:282) semua organisasi mempunyai budaya yang tidak tertulis yang mendefinisikan standar-standar perilaku yang dapat diterima dengan baik maupn tidak untuk para karyawan. Dan proses akan berjalan beberapa bulan, kemudia setelah itu kebanyakan karyawan akan memahami budaya organisasi mereka seperti bagaimana berpakaian untuk kerja dan lain sebagainya.
·         Gibson (1997:372) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang menembus nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur organisasi dapat mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang dianut.



TINGKATAN BUDAYA ORGANISASI

Dalam mempelajari budaya organisasi ada beberapa tingkatan budaya dalam sebuah organisasi, dari yang terlihat dalam perilaku (puncak) sampai pada yang tersembunyi. Schein (dalam Mohyi 1996:85) mengklasifikasikan budaya organisasi dalam tiga kelas, antara lain:
·         Artefak : merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan fisik dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi.
·         Nilai-nilai yang mendukung : nilai adalah dasar titik berangka evaluasi yang dipergunakan anggota organisasi untuk menilai organisasi, perbuatan, situasi, dan hal-hal lain yang ada dalam organisasi.
·         Asumsi Dasar : keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri mereka sendiri, tentang orang lain, dan hubungan mereka dengan orang lain serta hakekat organisasi mereka.
Sementara Lundberg (dalam Mohyi, 1999:196) dalam studinya yang melanjutkan penelitian (pendapat) Schein dan menjadikan tingkatan budaya organisasi sebagai topik utama mengklasifikasikan budaya organisasi dalam empat kelas, yaitu:
·         Artefak : merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan fisik dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi.
·         Perspektif : aturan-aturan dan norma yang dapat diaplikasikan dalam konteks tertentu, misalnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, cara anggota organisasi mendefinisikan situasi-situasi yang muncul. Biasanya anggota menyadari perspektif ini.
·         Nilai : nilai ini lebih abstrak dibandingkan perspektif, walaupun sering diungkap dalam filsafat organisasi dalam menjalankan misinya.
·         Asumsi : asumsi ini seringkali tidak disadari lebih dalam dari artefak, perspektif, dan nilai.

FUNGSI BUDAYA ORGANISASI

Fungsi budaya pada umumnya sukar dibedakan dengan fungsi budaya kelompok atau budaya organisasi, karena budaya merupakan gejala sosial. Menurut Ndraha (1997:21) ada beberapa fungsi budaya, yaitu
1.      Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat
2.      Sebagai pengikat suatu masyarakat
3.      Sebagai sumber
4.      Sebagai kekuatan penggerak
5.      Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah
6.      Sebagai pola perilaku
7.      Sebagai warisan
8.      Sebagai pengganti formalisasi
9.      Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan
10.  Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation-state
Sedangkan menurut Robbins (1999:294) fungsi budaya dalam sebuah organisasi adalah:
1.    Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas
2.    Budaya berarti identitas bagi suatu anggota organisasi
3.    Budaya mempermudah timbulnya komitmen
4.    Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial

TIPOLOGI BUDAYA ORGANISASI

Ada beberapa tipologi budaya organisasi. Kotter dan Heskett (1998) mengkategorisasi jenis budaya organisasi menjadi tiga, yaitu budaya kuat dan budaya lemah; budaya yang memiliki kecocokan strategik; dan budaya adaptif. Organisasi yang berbudaya kuat biasanya dapat dilihat oleh orang luar sebagai memilih suatu gaya tertentu. Dalam budaya organisasi yang kuat ini, nilai-nilai yang dianut bersama itu dikonstruksi ke dalam semacam pernyataan misi dan secara serius mendorong para manajer untuk mengikutinya. Karena akar-akarnya sudah mendalam, gaya dan nilai budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada pergantian pimpinan.
Sejalan dengan itu, Robbins (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan budaya yang kuat adalah budaya dimana nilai-nilai inti dipegang secara intensif dan dianut besama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka makin kuat pula budaya tersebut. Sebaliknya organisasi yang berbudaya lemah, nilai-nilai yang dianut tidak begitu kuat sehingga jati diri organisasi tidak begitu menonjol dan kemungkinan besar nilai-nilai yang dianutpun berubah setiap pergantian pimpinan atau sesuai dengan kebijakan pimpinan yang baru.
Jenis budaya yang cocok secara strategik memiliki perspektif yang menegaskan tidak ada resep umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik itu, hanya apabila “cocok” dengan konteksnya. Konteks itu dapat berupa kondisi objektif dari organisasinya, segmen usahanya yang dispesifikasi oleh strategi organisasi atau strategi bisnisnya sendiri. Konsep kecocokan sangat bermanfaat khususnya dalam menjelaskan perbedaanperbedaan kinerja jangka pendek dan menengah. Esensi konsepnya mengatakan bahwa suatu budaya yang seragam tidak akan berfungsi. Oleh karena itu, beberapa variasi dibutuhkan untuk mencocokan tuntutan-tuntutan spesifik dari bisnis-bisnis yang berbeda itu.
Budaya adaptif didasari pemikiran bahwa organisasi merupakan sistem terbuka dan dinamis yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk dapat meraih sukses dalam lingkungan yang senantiasa berubah, organisasi harus tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat membaca kecenderungan-kecenderungan penting dan melakukan penyesuaian secara cepat. Budaya organisasi adaptif memungkinkan organisasi mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi tanpa harus berbenturan dengan perubahan itu sendiri.
Selanjutnya, Luthans (1992) memaparkan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
  1. Peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi 
  2. Norma-norma 
  3. Nilai-nilai yang dominan 
  4. Filosofi 
  5. Aturan-aturan 
  6. Iklim organisasi.
Semua karakteristik budaya organisasi tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dalam arti bahwa unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa maupun organisasi yang menghasilkan produk barang.
Robbins (1990) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu:
  1. Inisiatif individu 
  2. Toleransi terhadap risiko 
  3. Pengarahan 
  4. Integrasi 
  5. Dukungan manajemen 
  6. Pengawasan 
  7. Identitas 
  8. Sistem penghargaan 
  9. Toleransi terhadap konflik 
  10. Pola komunikasi.
Inisiatif individual adalah seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil keputusan.
Toleransi terhadap risiko, menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi risiko dalam pekerjaannya. Pengarahan, hal ini berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu.
Integrasi adalah seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan koordinasi yang baik. Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. Identitas, menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi.
Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan yang telah ditentukan. Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi. Karakteristik yang terakhir adalah pola komunikasi, yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.
Daftar Pustaka
Schein, E. H. (Inggris)Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass, 1985. hal. 168
Luthans Fred, (2006), Perilaku Organisasi, Andi Yogyakarta.

Sutrisno Edy, (2010), Budaya Organisasi, Kencana Prenada Media Group Jakarta.

Mangkunegara Anwar Prabu, (2008), Perilaku dan Budaya Organisasi, Refika Aditama Bandung

Schein, E. H. (Inggris)"the Role of the Founder in Creating Organizational Culture," The Leader of the Future, San fransisco: Jossey Bass, 1996, hal. 61-62.
Schein, E. H. (Inggris)"Leadership and Organizational Culture," The Leader of the Future, San Fransisco: Jossey Bass, 1996, hal. 61-62.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar